Bagi-bagi THR sudah menjadi tradisi yang sangat ditunggu-tunggu oleh pekerja menjelang Hari Raya Idulfitri.
Istilah ini bahkan dipakai juga untuk memberikan uang kepada keponakan atau saudara yang masih kecil saat momen lebaran.
Baca Juga:
Pemkot Surabaya Rencanakan Konser Internasional di Kawasan THR dan TRS
Menurut Musta'in, bagi-bagi THR dan menunaikan zakat keduanya memiliki makna yang sama jika dilihat dari kacamata sosiologi, yakni sebagai bentuk semangat manusia untuk kembali ke fitrah.
Fitrahnya manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri. Oleh sebab itu, manusia membentuk komunalitas untuk saling berinteraksi dan berbagi dalam memenuhi hajatnya.
Pada masyarakat pedesaan, kebersamaan dan solidaritas terjaga dengan baik karena didukung oleh budaya tradisional dan struktur mata pencaharian masyarakat yang berada dekat dengan lingkungan rumah. Mereka dulu belum mengenal istilah THR.
Baca Juga:
Aduan Sementara di Posko THR, Kemnaker Catat 1.187 Kasus
Namun, karena sifat moral dan fitrah manusia, pembagian keuntungan usaha antar individu berdasarkan hierarki pekerjaan sudah terbentuk. Hal itu dinamakan patron-klien.
"Secara moral di desa itu orang kaya memiliki kewajiban, si kaya memberi kepada yang miskin," ujar guru besar sosiologi itu.
Seiring berjalannya waktu, tumbuh industri-industri di perkotaan yang membuat masyarakat desa ikut bekerja pada korporasi dengan sistem profesional, meski begitu fitrah kemanusiaan tidaklah luntur.