Selanjutnya terkait, kekosongan masa jabatan penjabat faktanya dapat terjadi melebihi jangka waktu sebagaimana diatur dalam Pasal 201 ayat UU Pilkada Jo Penjelasan Pasal 201 ayat (9) UU Pilkada.
Padahal, dalam UU Nomor 10 Tahun 2016, gubernur/walikota/bupati yang masa jabatannya habis di tahun 2022 bakal digantikan oleh penjabat gubernur/walikota/bupati hanya diperbolehkan maksimal dua tahun sesuai pasal 201 ayat (9) UU Nomor 10 Tahun 2016.
Baca Juga:
Uji Materi UU Pilkada, Pemohon Minta Calon Bisa Maju Dukungan Ormas
Di sisi lain, para pemohon juga melampirkan kerugian terkait rencana pemerintah yang dapat menunjuk Penjabat Kepala Daerah melalui Presiden Republik Indonesia (untuk penjabat gubernur) serta Menteri Dalam Negeri (Mendagri) untuk bupati dan walikota.
Sebab dalam pengisian Penjabat tersebut, Kemendagri membuka wacana pengisian penjabat kepala daerah oleh anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) atau Polri.
"Hal tersebut menjadi kekhawatiran para pemohon serta masyarakat sipil karena pengisian penjahat kepala daerah oleh anggota TNI/Polri aktif merupakan bentuk kemunduran dan pelanggaran amanat reformasi," sebutnya.
Baca Juga:
Rahmad Masud: Putusan MK Perpanjang Masa Jabatan, Peluang Tingkatkan Kinerja
Maka, para pemohon turut mengajukan uji materiil terhadap Pasal 201 ayat (9,10,11) UU Pilkada. Dianggap bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat sebagaimana dijamin dalam Pasal 1 ayat (2) UUD NKRI 1945 dan pemilihan secara demokratis sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (3) dan (4) UUD NKRI 1945.
Alhasil dari beberapa alasan permohonan uji materiil, para pemohon meminta agar MK dapat perpanjang masa jabatan kepala daerah yang sedang menjabat dan/atau habis masa baktinya pada 2022 dan 2023
Termasuk, memilih Penjabat bukan berasal dari kalangan Kepolisian dan Tentara Nasional Indonesia; dan Independen dan bukan merupakan presentasi kepentingan politik tertentu dari Presiden atau Pemerintah Pusat. [dny]