WahanaNews-NTB | Mahkamah Konstitusi (MK) menerima permohonan uji materil dari beberapa warga DKI Jakarta, berkenaan perpanjangan masa jabatan kepala daerah yang sedang menjabat dan/atau habis masa baktinya pada 2022 dan 2023.
Termasuk, dalam pertimbangannya juga turut mempersoalkan masa jabatan Gubernur Anies Baswedan yang akan habis pada Oktober 2022 nanti agar diperpanjang. Sebab, Pemilu serentak baru akan digelar pada 2024. Sehingga posisi Gubernur DKI Jakarta nantinya akan diisi oleh penjabat.
Baca Juga:
Uji Materi UU Pilkada, Pemohon Minta Calon Bisa Maju Dukungan Ormas
Para pemohon yang diwakili kantor hukum Lokataru turut mewakili permohonan yang dilayangkan di antaranya; Warga Ancol, Jakut, A Komarudin dan Warga Penjaringan, Jakut, Eny Rochayati.
Sementara untuk pemohon lainnya yakni; Warga Jayawijaya, Papua, Hana Lena Mabel; Warga Jayawijaya, Papua, Festus Menasye Asso; Warga Yapen, Papua, Yohanes G Raubaba (juga anggota DPRD): Warga Yapen, Papua, Prilia Yustiati Uruwaya. Sebagaimana telah terdaftar MK, Senin (7/3) lalu.
"Sebagai contoh Gubernur Jakarta akan habis masa jabatan pada Oktober 2022 dan akan digantikan penjabat gubernur hingga maksimal Oktober 2024. Sedangkan pilkada serentak akan dilaksanakan baru pada November 2024," tulis draft permohonan yang dikutip lewat website MK, Rabu (9/3).
Baca Juga:
Rahmad Masud: Putusan MK Perpanjang Masa Jabatan, Peluang Tingkatkan Kinerja
Kemudian para pemohon berdalil jika Pilkada DKI Jakarta terjadi 2 putaran dan sengketa di MK. Maka dapat diprediksi pengisian jabatan gubernur DKI Jakarta definitif baru bisa terjadi sekitar bulan Mei atau Juli 2025.
"Oleh karena itu berpotensi terdapat kekosongan kepemimpinan di DKI Jakarta dari bulan November 2024 Mei 2025 atau 6 bulan," sebutnya.
Sementara, kekosongan kepemimpinan tersebut belum diatur dalam peraturan perundang undangan (kekosongan hukum) karena masa jabatan Penjabat hanya 1x2 tahun.
Selanjutnya terkait, kekosongan masa jabatan penjabat faktanya dapat terjadi melebihi jangka waktu sebagaimana diatur dalam Pasal 201 ayat UU Pilkada Jo Penjelasan Pasal 201 ayat (9) UU Pilkada.
Padahal, dalam UU Nomor 10 Tahun 2016, gubernur/walikota/bupati yang masa jabatannya habis di tahun 2022 bakal digantikan oleh penjabat gubernur/walikota/bupati hanya diperbolehkan maksimal dua tahun sesuai pasal 201 ayat (9) UU Nomor 10 Tahun 2016.
Di sisi lain, para pemohon juga melampirkan kerugian terkait rencana pemerintah yang dapat menunjuk Penjabat Kepala Daerah melalui Presiden Republik Indonesia (untuk penjabat gubernur) serta Menteri Dalam Negeri (Mendagri) untuk bupati dan walikota.
Sebab dalam pengisian Penjabat tersebut, Kemendagri membuka wacana pengisian penjabat kepala daerah oleh anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) atau Polri.
"Hal tersebut menjadi kekhawatiran para pemohon serta masyarakat sipil karena pengisian penjahat kepala daerah oleh anggota TNI/Polri aktif merupakan bentuk kemunduran dan pelanggaran amanat reformasi," sebutnya.
Maka, para pemohon turut mengajukan uji materiil terhadap Pasal 201 ayat (9,10,11) UU Pilkada. Dianggap bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat sebagaimana dijamin dalam Pasal 1 ayat (2) UUD NKRI 1945 dan pemilihan secara demokratis sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (3) dan (4) UUD NKRI 1945.
Alhasil dari beberapa alasan permohonan uji materiil, para pemohon meminta agar MK dapat perpanjang masa jabatan kepala daerah yang sedang menjabat dan/atau habis masa baktinya pada 2022 dan 2023
Termasuk, memilih Penjabat bukan berasal dari kalangan Kepolisian dan Tentara Nasional Indonesia; dan Independen dan bukan merupakan presentasi kepentingan politik tertentu dari Presiden atau Pemerintah Pusat. [dny]