WahanaNews-NTB | PLN Unit Induk Wilayah (UIW) NTB terus mendorong penerapan teknologi co-Firing pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) sebagai langkah strategis untuk mendukung pengurangan emisi.
Hal ini tentunya merupakan salah satu upaya PLN dalam mendukung pencapaian Net Zero Emission tahun 2050 di Provinsi Nusa Tenggara Barat, sekaligus menjaga keberlanjutan lingkungan.
Baca Juga:
Era Energi Terbarukan, ALPERKLINAS: Transisi Energi Harus Didukung Semua Pihak
General Manager PLN Unit Induk Wilayah (UIW) NTB, Sudjarwo menjelaskan program co-firing ini sejalan dengan komitmen perusahaan untuk memperluas penggunaan Energi Baru Terbarukan (EBT).
Pemanfaatan biomassa dan limbah organik sebagai sumber energi, selain mampu menekan emisi, juga akan berdampak pada terciptanya ekonomi sirkular di masyarakat.
“Realisasi implementasi cofiring PLTU NTB yaitu PLTU Jeranjang dan PLTU Sumbawa saat ini cukup besar. Di tahun 2023, tercatat hingga bulan Juni, pemakaian biomassa tercatat mencapai 5.132 ton dengan produksi energi yang dihasilkan sebesar 3.417,74 MWh,” ungkap Djarwo.
Baca Juga:
Urgensi Krisis Iklim, ALPERKLINAS Apresiasi Keseriusan Pemerintah Wujudkan Transisi Energi Bersih
PLTU Jeranjang dengan kapasitas 3x25 MW, yang merupakan backbone utama Sistem Kelistrikan Lombok sendiri mampu menghasilkan energi sebesar 2.495 MWH dengan pemakaian 3.183 ton biomassa. Sedangkan untuk PLTU Sumbawa Barat yang berkapasitas 2x7 MW memproduksi 1.022 MWH dengan penggunaan bahan 1.948 ton biomassa.
Adapun jenis biomassa yang digunakan dalam proses co-firing di NTB adalah berupa sampah yang telah diolah menjadi Solid Recovered Fuel (SRF), sekam padi, serbuk kayu dan juga serpihan atau potongan kayu (woodchip).
Produksi SRF dari sampah, dilakukan di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Kebun Kongok, Lombok Barat. Berkolaborasi dengan Pemerintah Provinsi NTB, PLN terus berusaha untuk meningkatkan kapasitas produksi bahan Co-Firing dengan melakukan upscaling TPA Kebon Kongok di Lombok Barat agar produksi bisa lebih meningkat.