WahanaNews-NTB | Langkah renegosiasi kontrak pembangkit listrik dianggap bisa membantu kelangsungan bisnis PT Peusahaan Listrik Negara (PLN).
Pengamat Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi mengungkapkan, di tengah tantangan oversupply kelistrikan, maka upaya renegosiasi kontrak akan menguntungkan bagi PLN.
Baca Juga:
PLN Gandeng PGE Bentuk Konsorsium Kembangkan Pembangkit Listrik Panas Bumi
"Langkah tepat untuk renegosiasi terutama untuk Pembangkit IPP karena PLN ada kewajiban untuk membeli (listrik yang dihasilkan)," kata Fahmy kepada Kontan, Senin (6/6).
Fahmy menambahkan, dengan melakukan renegosiasi kontrak pembangkit maka PLN setidaknya dapat menekan potensi kerugian.
Setidaknya, hal itu tercermin dari raihan kinerja keuangan PLN yang positif untuk kurun 2021 lalu.
Baca Juga:
PLN Gandeng PGE Bentuk Konsorsium Kembangkan Pembangkit Listrik Panas Bumi
Menurutnya, di saat bersamaan perlu didorong agar investasi-investasi kelistrikan yang baru diarahkan pada sektor Energi Baru Terbarukan (EBT).
Selain membantu mengurangi penggunaan PLTU oleh PLN, langkah ini dinilai juga sejalan dengan komitmen pemerintah untuk transisi energi.
Fahmy menjelaskan, situasi over supply yang kini dihadapi oleh PLN tak lepas dari dampak pandemi covid-19 beberapa tahun belakangan.
Pandemi covid-19 yang berimbas pada penurunan kegiatan usaha sektor industri, bisnis dan UMKM tak dipungkiri membuat demand listrik ikut merosot.
Kendati demikian, Fahmy meyakini situasi ini bersifat jangka pendek.
Dengan demikian, untuk jangka panjang nantinya permintaan listrik diperkirakan sudah dapat kembali pulih.
Untuk itu, investasi kelistrikan yang bersifat jangka panjang dinilai tidak bakal begitu terdampak.
"Karena untuk investasi ke depan kan sudah dilakukan forecasting sehingga saya yakin investor (tetap) akan masuk," terang Fahmy.
Sementara itu, Pengamat Ekonomi Energi Universitas Padjajaran, Yayan Satyaki menjelaskan, secara umum perencanaan kelistrikan cukup dipengaruhi oleh sektor industri.
Adapun, permintaan kelistrikan dari sektor industri bergantung pada produktivitas industri itu sendiri.
"Saat ini perencanaan industri di Indonesia masih belum clear (menyangkut) kebutuhan energi," jelas Yayan.
Yayan mengungkapkan, saat ini perlu ada upaya meningkatkan demand kelistrikan dengan membuka investasi baru.
Dengan demikian, permintaan listrik juga dapat terdongkrak.
Sebelumnya, Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) Darmawan Prasodjo mengungkapkan, seluruh upaya di sisi operasi tidak akan berhasil jika pengendalian di sisi keuangan tidak dilakukan.
PLN telah membangun sistem Cash War Room, Spend Control Tower dan optimalisasi manajemen investasi serta menjalankan langkah cost avoidance dan cost reduction yang terukur dan termonitor secara ketat.
PLN juga berhasil mempercepat pelunasan pinjaman sebesar Rp52,48 triliun dalam 2 tahun terakhir sehingga menurunkan outstanding pinjaman secara signifikan.
“Langkah-langkah yang kami lakukan tersebut mampu mengurangi tekanan keuangan Perseroan di 2021 sehingga beban keuangan turun Rp7,04 triliun atau 25,7 persen dibandingkan tahun 2020,” terang Darmawan dalam keterangan resmi, akhir Mei lalu.
Darmawan menyebutkan tantangan over supply masih akan terjadi untuk tahun ini.
Dalam 2 tahun terakhir PLN telah berhasil mengupayakan rescheduling masuknya IPP yang semula di tahun 2021 menjadi tahun 2022.
"Tentu saja hal ini menimbulkan tekanan arus kas pembayaran IPP akibat adanya Take Or Pay (TOP)," pungkas Darmawan. [dny]