WahanaNews-NTB | Sederet bencana hidrometeorologi disebut tipikal terjadi di Indonesia semasa awal musim kemarau seperti pada saat ini ketika masih terjadi peralihan dari musim hujan.
"Tipikal bencana hidrometeorologi pada periode peralihan musim umumnya didominasi banjir bandang, hujan es (hail), petir hingga puting beliung," terang Dosen Sekolah Tinggi Meteorologi dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (STMKG) Deni Septiadi, Jumat (20/5).
Baca Juga:
BMKG Wanti-wanti Potensi Bencana Hidrometeorologi di Masa Transisi Kemarau
Saat ini wilayah Indonesia telah memasuki musim kemarau, tetapi baru-baru ini sejumlah wilayah kerap mengalami hujan lebat disertai petir yang kerap berujung bencana hidrometeorologi.
Deni memaparkan secara mikrofisis proses terjadinya hujan atau bahkan hujan es merupakan hasil dari dinamika kompleks atmoster yang dimulai dari penguapan, pemanasan permukaan, konveksi, kemudian didukung ketersediaan partikel aerosol atmosferik sebagai inti kondensasi awan.
Setelah serangkaian proses tersebut, labilitas atmosfer akan semakin kuat dengan potensi berkembangnya awan pada periode ini lebih meningkat dengan produknya seperti presipitasi, petir, dan angin.
Baca Juga:
Sirkulasi Siklonik di Laut Cina Selatan, BMKG: 8 Provinsi Siaga Bencana
Selain faktor tersebut, faktor-faktor lain yang mendukung potensi hujan es, petir dan puting beliung saat ini adalah hangatnya suhu permukaan laut di Benua Maritim Indonesia (BMI) dengan anomali suhu berkisar antara satu hingga tiga derajat Celcius.
Bahkan tercatat kondisi La Nina Moderate masih berlangsung dengan nilai anomali SST di Nino 3.4 sebesar -0.78.
"Artinya wilayah BMI sangat hangat dan mendukung tumbuh berkembang awan konvektif secara masif," ujar Deni.
Lebih lanjut, hujan es yang kerap terjadi beberapa waktu ke belakang dihasilkan awan-awan konvektif tipikal Cumulonimbus (Cb) baik yang bersel tunggal maupun bersel banyak dengan suhu puncak awan berkisar antara -60 hingga -80 derajat Celcius.
Kemudian dikarenakan proses penguapan (evaporasi) tidak terlalu besar, maka embrio/batu es (hailstone) yang keluar dari sistem sirkulasi internal awan akan tetap berada dalam bentuk es padat dan jatuh ke daratan sebagai hujan es. [dny]