WahanaNews-NTB | Presiden Kongres Advokat Indonesia (KAI ISL) Siti Jamaliah Lubis menyampaikan apresiasinya terkait langkah DPR RI yang menyepakati Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS).
RUU ini selanjutnya akan segera dibahas antara DPR bersama Pemerintah.
Baca Juga:
Soal RUU Perampasan Aset, Pengamat Minta DPR RI 2024-2029 Segera Setujui
“Saya berharap Undang-undang ini nantinya akan menjadi payung terhadap pencegahan tindak kekerasan seksual serta melindungi hak dan pemulihan korban,” kata Kak Mia, demikian Siti Jamaliah Lubis akrab disapa, kepada wartawan, senin (24/1/2022) di Jakarta.
Ia setuju bila para pelaku tindak kekerasan seksual atau predator seksual dihukum maksimal. Predator anak dan perempuan ini sudah sangat meresahkan dan mengorbankan masa depan anak dan kaum perempuan.
“Sebagai seorang perempuan dan kebetulan saya juga sebagai Presiden KAI, juga mengapresiasi sikap tegas Jaksa Penuntutut Umum (JPU) yang menuntut hukuman mati dan kebiri kimia terhadap Herry Wirawan, terdakwa kasus pemerkosaan belasan santriwati di Pengadilan Negeri Kelas 1A Bandung,” imbuh Kak Mia.
Baca Juga:
Wakil Komisi III DPR: RUU Perampasan Aset Dibawa ke DPR Periode Selanjutnya
Ia meminta hukum itu tegas, karena akibat dari tindak kejahatan predator seksual ini sangat kejam bagi korban. Mia juga meminta para pihak tidak menghalangi penegak hukum yang melakukan gerakan pro justitia terhadap para pelaku predator seksual.
“Tindakan tegas ini harus dilakukan supaya para pelaku predator seksual jera, apalagi bila dilakukan oleh pimpinan pondok pesantren, ini akan mendown grade kredibilitas pondok pesantren yang selama ini dikenal sebagai lembaga pendidikan yang sangat baik di Indonesia,” tegas Kak Mia.
Srikandi KAI ini heran terhadap pengikut pimpinan pondok pesantren yang menghalang-halangi tindakan hukum penegak hukum tehadap pimpinan ponpes yang diduga melakukan pencabulan terhadap para santriwati.
Akibat dari perbuatan bejad pimpinan pesantren di Jawa Barat, ternyata juga muncul lagi hal yang sama di Banten, Jawa Timur dan lain-lain.
“Pesantren harus diawasi dari Dinas Pendidikan dan Komisi Perlindungan Perempuan dan anak daerah setempat, misalnya sebulan sekali dilakukan sidak. Serta diawasi oleh CCTV. Ini supaua pelecehan seksual tidak terjadi lagi,” pintanya.
Latar belakang guru-guru, menurutnya, juga harus dilihat, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
“Jangan juga dengan adanya ini, menjadikan nama seluruh pesantren rusak. Karena banyak juga pesantren yang baik dan tidak terjadi pelecehan,” pungkas Kak Mia. [dny]