NTB.WahanaNews.co| Slogan yang sering kali diusung oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI) selama perhelatan Pemilu 2024 adalah "PSI partainya Jokowi".
Penunjukan Kaesang Pangarep, putra bungsu Presiden Joko Widodo, sebagai Ketua Umum PSI dianggap sebagai langkah untuk menegaskan klaim mereka sebagai "partai yang berada di bawah naungan Jokowi".
Baca Juga:
Hinca Panjaitan Pimpin Tim Pemenangan Bobby-Surya di Pilgubsu 2024
Meskipun demikian, berdasarkan hasil sementara real count dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan data mencakup 56 persen suara, PSI hanya berhasil meraih 1.892.520 suara atau sekitar 2,78 persen.
Hasil serupa juga terlihat dalam hasil quick count yang dilakukan oleh lembaga Indikator Politik Indonesia, yang menunjukkan bahwa dukungan untuk PSI hanya mencapai 2,66 persen.
Dengan perolehan tersebut, PSI kembali menghadapi tantangan potensial untuk mencapai ambang batas parlemen atau parliamentary threshold yang ditetapkan sebesar 4 persen, sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Baca Juga:
Bobby-Surya Percaya Hinca Panjaitan Pimpin Tim Pemenangan
Meskipun PSI telah mengadopsi nama Jokowi sebagai bentuk dukungan, pertanyaan yang muncul adalah mengapa partai ini masih mengalami kesulitan dalam mencapai ambang batas parlemen, meski memiliki keterkaitan dengan nama besar Jokowi?
Minimnya Figur Kunci di PSI
Direktur Eksekutif Parameter Politik Adi Prayitno menilai, ada beberapa faktor yang membuat suara PSI masih rendah, meski sudah mengidentikkan diri dengan Jokowi.
Menurutnya, minimnya figur-figur kunci menghambat suara PSI pada Pemilu 2024.
Padahal, figur kunci itu bisa dimobilisasi dan menjadi sebuah insentif politik elektoral.
"Partai politik kita kan menitikberatkan pada figur politik kunci, misalnya PDI-P ada faktor Megawati, Soekrno, ada faktor jokowi juga," kata Adi, dikutip dari tayangan Kompas TV, Minggu (18/2/2024).
"Kalau melihat Gerindra pasti ada faktor Prabowo. Kalau melihat Partai Demokrat, ada faktor Pak SBY Di PSI, belum ada figur yang bisa menjadi magnet," sambungnya.
Ia menjelaskan, kehadiran Kaesang Pangarep di PSI saja tak cukup untuk mengerek popularitas partai berlambang bunga mawar merah itu.
Sebab, popularitas Kaesang tak setinggi kakaknya, Gibran Rakabuming Raka.
"Publik tidak terkonfirmasi dengan Kaesang yang popularitasnya rendah, meski anak presiden. Wajar PSI kalah populer dari partai lain," jelas dia.
Menurut Adi, faktor lain yang berkontribusi adalah keterlambatan dalam mengidentifikasi PSI sebagai partai yang terkait dengan Jokowi.
Ia menyatakan bahwa PSI hanya memiliki waktu tiga bulan setelah mengaitkan dirinya dengan Jokowi.
Adi menyampaikan bahwa masyarakat yang merasa mengenal dan puas dengan Jokowi menjadi terlambat dalam menyadari bahwa PSI sebenarnya merupakan bagian dari Jokowi.
Selain itu, sebagai partai baru, PSI juga belum memiliki jejaring dan infrastruktur politik yang tersebar secara merata. Menurutnya, mesin politik PSI hanya dapat ditemui di perkotaan dan hampir tidak ada di pedesaan.
[Redaktur: Frans Dhena]