WahanaNews-Mandalika | Mantan Presiden Indonesia, Megawati Soekarnoputri, membahas ibadah Nyepi dan falsafah hidup masyarakat Bali Tri Hita Karana saat berpidato di acara penutupan Sesi ke-7 Global Platform for Disaster Risk Reduction (GPDRR), Badung, Bali, Jumat (27/5/2022).
Menurut Megawati, Nyepi dan Tri Hita Karana merupakan cara hidup yang dianut oleh masyarakat Bali agar selaras dengan alam dan peka terhadap tanda-tanda alam, termasuk di antaranya bencana.
Baca Juga:
PLN dan Pemerintah Ajak Komunitas Global Kolaborasi Pendanaan Tansisi Energi di Forum Ekonomi Tri Hita Karana
“Bali yang terkenal dengan nama Pulau Dewata punya tradisi spiritual keagamaan dan kebudayaan khas Bali yang tidak sama dengan India, yaitu perayaan yang disebut Nyepi. Melalui Nyepi, masyarakat Bali tidak melakukan apa pun selama 24 jam,” kata Megawati di hadapan ribuan delegasi asing dari lebih 190 negara.
Megawati, yang merupakan Ketua Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menjelaskan Tri Hita Karana merupakan ajaran yang masih diterapkan oleh masyarakat Bali dalam kesehariannya.
“Menurut falsafah ini, kebahagiaan manusia terjadi saat tercipta keseimbangan Sang Pencipta dengan seluruh alam raya dengan sesama manusia, karena itu di Bali alam yang sangat baik, penuh cinta, sebagai kesadaran kesatuan kosmologi kehidupan,” kata Megawati.
Baca Juga:
Selama Libur Panjang Nyepi, ASDP Seberangkan 102 Ribu Penumpang dan 25 Ribu Kendaraan dari Jawa ke Sumatera
Ia menambahkan kearifan lokal itu yang perlu dijaga dan menjadi inspirasi bagi semua pihak.
Dalam pidatonya, Megawati juga menyoroti bencana ekologis dan krisis akibat perubahan iklim yang keduanya merupakan ancaman bagi kemanusiaan.
Dia menjelaskan upaya menghadapi bencana juga perlu mempertimbangkan aktivitas manusia yang seringkali menjadi penyebab bencana ekologis dan krisis perubahan iklim.