WahanaNews-Mandalika | Perubahan iklim ternyata berpengaruh pada durasi tidur banyak orang. Ini terungkap dari analisis data dari gelang pelacak tidur di 68 negara.
Data tersebut menyebut bahwa planet yang memanas membuat suhu di malam ikut panas, yang pada akhirnya menyebabkan orang tidur lebih lambat, bangun lebih awal, dan kurang tidur.
Baca Juga:
Tips Ampuh Agar Penderita Insomnia Bisa Tidur Cepat dan Nyenyak
Kondisi tersebut bisa jadi akan menjadi lebih buruk secara signifikan di abad ini bahkan jika umat manusia berhasil mengendalikan emisi karbon.
Sebelumnya, pengukuran dampak suhu malam terhadap berapa lama seseorang tidur hanya dilakukan pada satu negara, studi laboratorium, atau pelaporan mengenai jumlah jam tidur yang tak dapat diandalkan.
Untuk mendapatkan gambaran secara global yang lebih baik, Kelton Minor dari Universitas Kopenhagen, Denmark kemudian mengambil data dari gelang pelacak tidur yang digunakan oleh 48.000 orang di 68 negara antara tahun 2015 hingga 2017.
Baca Juga:
Fakta-fakta Ilmiah Soal Tidur yang Jarang Diketahui, Simak Yuk!
Ia bersama rekan peneliti lainnya kemudian memasangkan data tidur dengan data cuaca lokal.
Termasuk mengukur tingkat kurang tidur pada malam yang sangat panas dengan membandingkan data seberapa banyak seseorang tidur secara normal.
Hasilnya, seperti dikutip dari New Scientist, Sabtu (21/5/2022) malam yang sangat panas menyebabkan orang tertidur lebih lambat, bangunan lebih awal, dan kurang tidur.
Dari data itu peneliti kemudian menyebutkan bahwa orang kehilangan rata-rata 44 jam tidur setiap tahun.
Jika emisi tak terkendali maka pada tahun 2100, peneliti memperkirakan orang akan kehilangan 58 jam tidur setahun.
Namun di masa depan dengan emisi yang lebih rendah, angka tersebut bisa turun menjadi 50 jam.
"Ini adalah bukti skala planet pertama bahwa suhu yang lebih hangat dapat mengikis jam tidur manusia," kata Minor.
Lebih lanjut, panas di atas rata-rata di malam hari memiliki dampak yang lebih besar bagi orang-orang di negara berpengasilan rendah, terutama wanita dan lansia.
Bagi mereka yang berusia 65 tahun ke atas, efek peningkatan suhu ini akan berdampak dua kali lipat daripada kelompok usia yang lebih muda.
Peneliti juga menemukan, bahwa orang gagal untuk beradaptasi terhadap situasi ini.
Misalnya dengan mengubah perilaku sehari-hari dengan tidur siang untuk mengatasi kurang tidur.
Orang-orang juga gagal beradaptasi sepanjang musim. Misalnya, lebih mudah tidur di malam yang hangat di akhir musim panas daripada di malam yang hangat di awal musim panas.
"Kami tak menemukan bukti bahwa orang beradaptasi dengan baik," ungkap Minor.
Sementara itu ada kemungkinan bahwa beberapa dari mereka yang tinggal di negara berpenghasilan tinggi cenderung memasang AC, yang dapat dilihat sebagai bentuk adaptasi.
Tapi Minor menyebut temuan dalam penelitian ini tak memungkinkan dia untuk membuat hubungan secara definitif.
Selain itu, biaya AC membuatnya tak terjangkau oleh banyak orang dan dapat meningkatkan emisi karena penggunaan energi bahan bakar fosil.
Susan Clayton dari College of Wooster, Ohio mengatakan metodologi penelitian ini masuk akal.
"Implikasinya jelas, suhu yang lebih tinggi yang terkait dengan perubahan iklim sudah mengurangi jumlah tidur seseorang dan diproyeksikan akan lebih banyak lagi. Ini mengkhawatirkan karena kita tahu bahwa kurang tidur dapat berdampak negatif pada suasana hati, perilaku, kesehatan, dan fungsi kognitif," katanya.
Penelitian ini pun menurut Ivana Rosenzweig dari King's College London menunjukkan, kekuatan big data dan juga sejalan dengan penelitian sebelumnya yang menunjukkan semakin dingin, semakin baik orang tidur.
Tapi dia menunjukkan pula bahwa efek yang terukur kecil. Hanya mengurangi beberapa menit tidur per malam atau kurang dari tiga persen dari total waktu tidur.
Selain itu, tipe orang yang memilih untuk memakai pelacak tidur juga lebih mungkin memiliki akses ke teknologi lagi yang dapat membuat mereka tidur lebih lambat.
Sehingga, perlu penelitian lebih mendalam lagi terkait dampak perubahan iklim terhadap jumlah tidur seseorang. [dny]